Quiet Quitting: Bekerja Lebih Keras atau Sewajarnya?

Di tahun 2018, Elon Musk mempost tweetno one ever changed the world on 40 hours a week (tidak ada orang yang mengubah dunia dengan bekerja 40 jam seminggu),” dengan utas lanjutan bahwa menurutnya seseorang dapat mencapai potensi maksimalnya mengubah dunia dengan bekerja 80 hingga 100 jam per hari.

Selain Elon Musk, berbagai influencer juga terlibat dalam membagikan pengalaman mereka terlibat dalam budaya kerja yang lebih dari yang diharapkan dari perusahaan: hustle culture. Walaupun begitu, setiap budaya umumnya memiliki pro dan kontranya masing-masing. Dalam kasus ini, kontra dari hustle culture adalah mulai munculnya quiet quitting.

Fenomena Quiet Quitting, Lawannya Hustle Culture

Quiet quitting adalah istilah yang relatif baru, namun istilah ini semakin sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Konsep quiet quitting sendiri bukan hal yang baru. Dalam dunia pengelolaan SDM, Pech dan Slade (2006) sudah membicarakan konsep employee disengagement, konsep dimana seorang pegawai muncul di tempat kerja, namun melakukan pekerjaannya seminim mungkin, selama pegawai tersebut tidak dipecat.

quiet quitting
Sumber: Gallup.com

Fenomena quiet quitting atau employee disengagement sendiri sebenarnya tidak pernah hilang dalam bidang manajemen SDM, namun fenomena ini mulai terangkat kembali setelah munculnya pandemi COVID-19 di tahun 2020. Tahun 2020 membawa perubahan yang sangat besar dalam dunia profesional. Tren Work from Home (WFH) pun menyebabkan pegawai di berbagai industri untuk mengevaluasi prioritasnya masing-masing, terutama mengenai keseimbangan kehidupan kerja menurut Global Talent Trends 2022 dari LinkedIn.

Kedua fenomena ini juga bukan tanpa pendukung dan lawannya masing-masing. Contohnya, Elon Musk adalah salah satu tokoh terkenal sebagai pendukung dari hustle culture sementara berbagai studi salah satunya oleh Bregman (2019) memberikan bukti bahwa hustle culture, bahkan ketika bidang yang ditekuni adalah sesuatu yang merupakan passion dari seseorang tersebut, dapat menyebabkan efek negatif pada kesehatan mental dan menyebabkan burnout

Umumnya, orang-orang yang menjalankan hustle culture akan menunjukkan berbagai pencapaiannya di media sosial. Hal ini berdampak pada pegawai yang merasa kerjanya kurang dihargai oleh perusahaan baik secara material, promosi, atau dukungan dari manajer tentunya akan terpengaruh oleh ini, dimana pada posisi paling ekstrim pegawai tersebut akan melakukan quiet quitting. Sebuah riset dari Gallup.com menunjukkan bahwa 50% dari pekerja di Amerika Serikat adalah quiet quitters, dengan 18% dari sisanya bahkan melepaskan diri dari pekerjaannya secara aktif.

Quiet Quitting, Yes or No?

Quiet quitting dapat dilihat dari 2 sisi, dari sisi perusahaan dan dari sisi pegawai. Pandangan dari kedua sisi ini tentunya akan melawan satu sama lain.

Perusahaan pastinya merasa dirugikan. Salah satu efek dari quiet quitting adalah menurunnya produktivitas dalam suatu perusahaan, dan penurunan produktivitas akan menghasilkan efek domino dalam suatu perusahaan. Penurunan produktivitas akan mengakibatkan rusaknya alur kerja, yang akan menyebabkan konflik kerja dan penurunan produktivitas lebih lanjut. Perusahaan dalam berbagai skala akan terpengaruh oleh masalah ini, contohnya, Google akan mulai melakukan PHK jika produktivitas tidak mengalami peningkatan.

Hustle culture sendiri pada dasarnya mengatasi masalah ini. Pelaku hustle culture umumnya akan meningkatkan produktivitas dari perusahaan, dan efek lebih lanjutnya dapat menghasilkan kesuksesan karir untuk pelakunya, baik dalam bentuk promosi kerja atau kenaikan gaji.

Walaupun begitu, hustle culture berlebih menyebabkan hilangnya batasan antara jam kerja dan non-kerja, yang tentunya menyebabkan efek buruk. Contohnya, Rapp et al. (2019) menunjukkan bahwa petugas kesehatan yang menerapkan batasan antara jam kerja dan jam non-kerja memberikan laporan bahwa tingkat burnout lebih rendah dibandingkan dengan periode tanpa penerapan batasan antara jam kerja dan non-kerja. Implikasinya, jika pegawai ingin quiet quitting, bisa dalam bentuk penerapan batasan keras dimana pegawai tidak akan melakukan aktivitas kerja setelah jam kerja lewat. Penerapan batasan inilah yang dapat mengurangi burnout.

Lebih lanjut lagi, setiap pegawai tentunya memiliki kehidupan diluar pekerjaannya masing-masing. Dengan quiet quitting pegawai akan memiliki waktu lebih banyak untuk melakukan hobinya dan menghabiskan waktunya dengan keluarganya masing-masing.

Pada akhirnya, keputusan ini kembali kepada individu masing-masing. Baik pegawai tersebut lebih mengejar kemajuan karir, hobi dan waktunya di luar kerja, maupun mencari keseimbangan diantara keduanya.

Ciri-ciri quiet quitter

Joe Galvin, Chief Research Officer di Vistage Worldwide adalah salah satu otoritas dalam bidang quiet quitting, memberikan 6 indikator seseorang adalah quiet quitter dalam artikel Forbes ini:

  1. Melepaskan diri dari tanggung jawab kerja secara kronis
  2. Performa kerja hanya menemui standar performa minim
  3. Isolasi diri dari anggota tim
  4. Menarik diri dari obrolan, aktivitas, maupun tugas yang diwajibkan
  5. Hadir dalam rapat namun tidak berbicara atau mengambil tindakan
  6. Anggota tim lain melaporkan peningkatan beban kerja

Melihat pertanda tersebut, dapat dilihat bahwa quiet quitting akan berefek bukan hanya pada performa pribadi, namun juga pada anggota tim lainnya atau bahkan pada perusahaan tersebut. Maka dari itu, alasan dibalik melakukan quiet quitting harus jelas, dan bukan hanya dilakukan untuk mengikuti tren semata.

Pemberian batasan yang jelas antara jam kerja dengan jam non-kerja tentunya adalah hal yang sehat bagi kesejahteraan pegawai tersebut. Walaupun pegawai tersebut tidak ingin mengikuti hustle culture, mempertimbangkan anggota tim yang juga memiliki kehidupan diluar kerja adalah hal yang penting agar karir rekan kerja tersebut juga tidak dirusak secara tidak sengaja.

Salah satu contoh kisah sukses quiet quitting adalah Maggie Perkins. Maggie adalah seorang guru yang merasa bahwa jalur karirnya sebagai seorang guru terbatas, dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk keluarganya. Pada akhirnya, Maggie melakukan apa yang disebutnya sebagai quiet working, dimana dia melakukan kerjanya namun dia mengurangi komitmennya di tempat kerja, namun dia tetap memberikan usaha maksimal dalam hal yang seharusnya dia lakukan. Kisah Maggie adalah salah satu kisah yang menjadi cukup viral di TikTok, dan menjadi panutan dari para quiet quitters.

Alternatif dari Quiet Quitting

Quiet quitting tidak bisa disalahkan secara sepihak bagi pegawai atau dari pihak perusahaan. Quiet quitting sendiri hanyalah merupakan indikator dari masalah yang lebih besar, yaitu burnout. Maka dari itu, jika pegawai ingin quiet quitting, ada hal-hal lain yang dapat dipertimbangkan terlebih dahulu oleh pihak pegawai dan pihak perusahaan.

Dari pihak pegawai, ada 3 alternatif sederhana dari quiet quitting yang bisa kamu pertimbangkan. 

  1. Efisien saat jam kerja. Dengan menjadi efisien saat jam kerja, kamu dapat menyelesaikan seluruh pekerjaan kamu tanpa perlu menghabiskan waktu di luar jam kerja. Gunakan jam di luar kerja untuk hal-hal yang kamu sukai agar rasa kesejahteraan kamu tetap terpenuhi tanpa perlu mengorbankan tanggung jawab pekerjaan.
  2. Komunikasikan. Jangan pendam masalah yang kamu alami atau bahkan menyebarkannya di media sosial tanpa mengkomunikasikan dengan pihak perusahaan. Lebih baik komunikasikan masalah, harapan, dan solusi yang kamu miliki dengan pihak perusahaan, daripada mengharapkan mereka untuk membaca pikiranmu. Jika pihak perusahaan tidak dapat mengabulkan semua permintaan kamu, setidaknya kamu telah memberikan upaya untuk memecahkan masalah tersebut.
  3. Cari posisi lain. Pikirkan hal apa saja yang memotivasi dan menginspirasi kamu, karena hal-hal inilah yang akan membuat kamu terasa lebih terpenuhi dan terlibat dalam pekerjaan dan bahkan dalam kehidupan pribadi. Kemudian, kamu dapat memperitmbangkan beralih ke posisi pekerjaan lain yang sesuai dengan skill dan sejalur dengan tujuan jangka panjangmu.  

Selain dari pihak pegawai, perusahaan juga memiliki tanggung jawab untuk mendengar keprihatinan dari pegawainya. Pada akhirnya, perusahaan juga bertanggung jawab atas kesejahteraan pegawainya. Jika seorang pegawai sudah memberikan masukan karena pegawai tersebut merasa kurang dihargai, atau karena beban kerjanya menyebabkan ketidakseimbangan dalam keseimbangan kehidupan kerja, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk paling tidak melihat keprihatinan dari pegawai tersebut dan mencoba menjaga kesejahteraan pegawai tersebut.

Pada akhirnya, pegawai dan perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap masing-masing. Pegawai bertanggung jawab untuk memberikan jasa yang mereka tawarkan kepada perusahaan ketika mereka direkrut, dan perusahaan bertanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan dari pegawai tersebut. Kedua belah pihak bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan ini antara tanggung jawab dari pegawai dan perusahaan.

What’s next?

Quiet quitting sendiri adalah satu fenomena yang muncul karena kesadaran pegawai mengenai hak dan kewajiban mereka masing-masing. Walaupun begitu, alasan seseorang melakukan quiet quitting harus dilihat baik oleh dari pihak pegawai dan pihak perusahaan.

Pro dan kontra dari masing-masing sisi baik dari pendukung hustle culture maupun quiet quitters juga sudah mulai dipelajari oleh praktisi dan secara akademis. Maka dari itu, pilihan untuk melakukan quiet quitting kembali lagi kepada pegawai tersebut. Prioritas pihak pegawai tersebut adalah hal yang harus dikenal secara jelas oleh dirinya sendiri dalam menjalankan kehidupan profesionalnya, baik untuk bekerja lebih keras untuk meraih kesuksesan profesional maupun untuk mengutamakan kehidupannya di luar kerja .

Maka dari itu, pegawai juga harus dapat menyuarakan pendapatnya kepada pihak manajemen dan mempertimbangkan rekan kerjanya sebelum melakukan tindakan drastis. Pihak perusahaan juga harus dapat mendengar keprihatinan dari pegawainya untuk menjaga kesejahteraan orang-orang yang bekerja di dalamnya karena pada akhirnya, bukankah perusahaan dan pegawai satu sistem umpan balik yang harus dapat menjaga kesejahteraan satu sama lain?

--- Ditulis Oleh Sasannaditya Surya Wang ---


Resume Builder

Build your resume only in minutes!

More Articles you might be interested in

Latest relevant articles
Interview Skills
Apr 12th 2024

5 Cara Menjawab Berapa Gaji yang Anda Inginkan dalam Interview!

Ditanya "Berapa gaji yang Anda inginkan" saat interview? Kamu dapat menjawab dengan estimasi gaji dan alasanmu seperti “Di pekerjaan saya sebelumnya, saya menerima rata-rata gaji X juta sampai X juta dari fresh graduate hingga...